Menara Gading Digoyang Sastra Best Seller

By 1001 Halaman - Juni 07, 2025

Ilustrasi by Hilmi and Umam

Kegelisahan A.S. Laksana dan Martin Suryajaya di akun Facebook mereka tampaknya bakal jadi titik pasang perdebatan sastra populer dan sastra serius (istilah yang tidak benar-benar disepakati, begitu juga dengan polemik di dalamnya). Perdebatan ini selalu berulang, tak kunjung jumpa titik temunya, dan memang begitulah seharusnya sebuah isu berdialektik. 

Titik pasang itu bermula dari pernyataan "bahwa karya Tere Liye adalah idola mahasiswa Sastra Indonesia se-Indonesia. Novel-novelnya paling banyak dijadikan bahan kajian, baik untuk makalah jurnal maupun skripsi, oleh mereka," begitulah yang dilaporkan Laksana, seraya ditimpali Martin di kolom komentar. Bingung! Mau senang atau sedih. Munculnya sastra populer membuat kesusastraan mencapai kemungkinan-kemungkinan baru dalam jenis, audiens, dan mediatornya. Sedihnya, sastra serius (high literature) semakin tersisih dari arus utama literasi dan budaya baca secara umum. 

Selera baca merupakan ranah pribadi. Rak buku masing-masing pembaca adalah ruang privat. Orang lain tak bisa ikut campur mengendalikan itu. Namun, satu rak buku masa kini, bersama beberapa rak buku lainnya, akan menentukan rak buku-rak buku lainnya di masa depan: apakah akan diisi deretan serial Bumi Tere Liye, atau karya-karya queer Norman Erikson Pasaribu? 

Buku-buku Tere Liye begitu laris dan disukai pembaca, demikian juga dengan contoh sastra populer lainnya, seperti buku-buku Habiburrahman El-Shirazy, Andrea Hirata, dan beberapa nama. Novel-novel mereka terus dipajang di rak best seller. Volume selanjutnya selalu dinanti-nanti. Statusnya pun selalu "antre" di perpustakaan daring. 

Saya kurang begitu yakin apa sastra populer ini bisa disetarakan dengan roman picisan atau roman Medan yang sudah mulai banyak terbit sejak tahun 1930-an lalu—yang menjadi bukti bahwa, bahkan Balai Pustaka pun sudah punya saingan sastra populer. Sebab, standar populer dan picisan zaman dulu sangat berbeda dengan yang sekarang. Dan sebenarnya, fenomena karya "populer" ini tidak hanya terjadi pada sastra, tetapi juga pada musik, teater, film, fashion, seni rupa, arsitektur, dan produk-produk seni lainnya. 

Sastra populer pada akhirnya juga merambah mahasiswa sastra di kampus-kampus, hingga menjadi objek penelitian mereka. Kampus, institusi pendidikan resmi dan pusat intelektual, yang selama ini dipercaya menjadi gawang dan laboratorium sastra serius ternyata mulai merangkul sastra populer. 

Bukan tanpa dasar, Tere Liye, dan juga karya sastra populer lainnya menawarkan pilihan produk sastra yang lebih mudah dimengerti dan ringan dibanding karya sastra tinggi. High literature dianggap elitis di puncak menara gading, entah dari segi tema, gaya bahasa (naratif), dan unsur estetika lainnya dalam karya sastra. Sementara pembaca saat ini cenderung menghindar dari hal-hal semacam itu. Meskipun demikian, karya-karya Tere Liye juga membahas topik mendalam seperti gejolak politik dan ekonomi. 

Pada dasarnya, selera pembaca tidak lepas dari ekosistem literasi di lingkungannya. Di antaranya adalah pengaruh dari kemajuan teknologi, derasnya lalu lintas informasi, industri penerbitan buku, sistem pendidikan nasional, hingga dalam ranah yang paling kecil: budaya baca keluarga. 

Bergesernya aktivitas membaca dari utama menjadi sampingan bagi kebanyakan orang, menjadikan bacaan-bacaan sastra semakin minor, sebatas hiburan, dan pengisi waktu luang. Pembaca pun merasa hanya butuh bacaan ringan (udah capek sama kerjaan atau tugas, nyari buku bacaan yang ramah di otak aja), cepat dipahami, dan pendek (selesai dalam satu atau dua kali duduk), meskipun kenyataannya cerita pendek tak begitu diminati. Sastra populer pun sukses memenuhi hasrat ini.

Jangankan sastra populer seperti serial Bumi buatan Tere Liye. Novel-novel yang diangkat dari AU (alternate universe) di aplikasi X (sebelumnya Twitter) semakin menjamur. Para penulisnya mengambil orang-orang di dunia nyata—seperti selebriti, idol, penyanyi, bahkan sekelas ajudan presiden—lalu menempatkan mereka dalam sebuah jalinan kisah, yang seringkali mengarah ke self-insert fiction atau kisah romansa berlogika Cinderella. Mereka tak perlu susah-payah menciptakan tokoh sendiri, tokoh-tokoh yang justru akan hadir di hadapan mereka.

Pasar sastra populer akhirnya makin menggeliat. Industri penerbit menangkap peluang itu dengan gegap gempita. Realistis! Sebagaimana sifat kapitalistik, cita-cita paripurna keuntungan dan kondisi pasar mengubah arah visi perusahaan. Alhasil sastra populer terus ditulis sampai berseri-seri, dicetak, dan dipromosikan dengan bombastis. Tidak jarang banyak rumah produksi yang sampai mengangkat kisah-kisah tersebut ke layar lebar. Beberapa penerbit mayor bahkan mulai membuat lini penerbitan sastra populer secara terpisah, tapi sambil mempertahankan penerbitan sastra serius. Pembaca makin seronok. 

Negara sempat ikut andil. Pendidikan nasional yang punya peran penting dalam menumbuhkan minat baca, meluncurkan Rekomendasi Bacaan Sastra bertajuk "Sastra Masuk Kurikulum" pada pertengahan 2024, meski tak lama kemudian kebijakan itu ditarik akibat menuai banyak kritik dari kalangan praktisi sastra. Uniknya, karya Tere Liye, Bumi, jadi salah satu yang direkomendasikan untuk siswa SMP. Namun, sampai sekarang kebijakan itu tak tercium lagi tindak lanjutnya, seakan-akan hilang lenyap ditelan bumi.

Sementara di perguruan tinggi (seperti yang saya temui di kampus saya, yang untungnya tak disebut oleh Laksana di Facebook itu), dosen tak pernah memperkenalkan Tere Liye dalam daftar sastrawan dan bacaan, apalagi menyarankannya untuk dikaji dalam makalah, artikel, atau tugas akhir. Memang ada penulis sastra populer yang sesekali disebut, seperti Habiburrahman dan Hirata. Absennya Tere Liye dari rekomendasi dosen menjadi satu bukti kecil bahwa inisiatif meneliti karya Tere Liye berasal dari mahasiswa. 

Tak bisa dipungkiri, semua yang kuliah sastra bukan berarti murni ingin belajar sastra. Ada yang tiba-tiba merasa salah jurusan, atau sastra pilihan kedua. Bagi mereka sastra populer pun menjadi pilihan mudah untuk lulus. Meskipun memang ada mahasiswa yang sedari jenjang pendidikan sebelumnya sudah suka sastra populer, dan di kampus tidak terpapar rekomendasi sastra serius, atau sudah terpapar, tapi tak terpengaruh. Lagi-lagi, selera tidak bisa dipaksakan. 

Terlepas dari masalah selera, ada salah satu perkataan yang sangat nyelekit di unggahan milik A.S. Laksana itu. Mengutip langsung dari komentar Made Supriatma, kurang lebih begini: “para sarjana sastra memang tidak harus dibebani bacaan berat-berat; karya sastra agung yang membutuhkan daya intelektuil tinggi untuk mencerap dan menikmatinya. Toh, pada akhir mereka akan jadi tukang tambal ban dan pekerjaan-pekerjaan sejenisnya. Coba tanyakan, berapa banyak sih dari mereka yang masuk ke jurusan sastra untuk belajar sastra? Kan mereka masuk sastra supaya bisa kuliah. Sambungan ke karir? Kalo nggak tukang tambal ban ya sopir Gocar. Maaf ya untuk mereka yang masuk sastra untuk beneran belajar sastra. Itulah kenyataan pahitnya.”

Komentar tersebut sangat pedas dan pesimistis, tentu saja. Memang benar adanya, bahkan banyak mahasiswa yang menaruh jurusan sastra di pilihan terakhir. Mungkin juga mengambil jurusan tersebut setengah hati, sebab tak ingin mengecewakan orang tua. Itu bisa dipahami. Setidaknya mereka jujur dengan dirinya sendiri. Tidak seperti dosen-dosen yang membanggakan bahwa lulusan sastra (apalagi konsentrasi sastra) sudah banyak mengambil pekerjaan di bank, jadi pengusaha, atau kuliah S2 dan S3 supaya jadi dosen lagi, menggantikan dosen-dosen tua, begitu terus sampai hari kiamat. 

Di sisi lain, penelitian terhadap sastra non-populer masih sangat melimpah. Nama besar seperti dua sastrawan yang masuk longlist penghargaan sastra paling bergengsi di Britania Raya dan persemakmurannya, Eka Kurniawan dan Norman Erikson Pasaribu, Pramoedya yang dicalonkan Nobel Sastra berkali-kali, dan nama-nama lainnya, masih banyak diperbincangkan. Apalagi novel-novel yang ditulis oleh penulis lokal. 

Namun, dosen pun (sepengetahuan saya) tak pernah mempermasalahkan Tere Liye. Bisa jadi, ini karena pragmatisme dosen dalam memandang usaha lulus mahasiswa (biar lebih mudah), atau dosen sebenarnya tak peduli-peduli amat dengan perdebatan sastra serius-populer, atau mungkin sastra populer mulai diterima di kalangan akademisi. Dan apakah ini menjadi masalah? Bisa iya, bisa tidak. Menjadi masalah jika sastra serius benar-benar tersisihkan sehingga mengubah "standar" estetika sastra. Tak jadi soal jika sastra populer justru mengantarkan sastra pada kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas, beragam, dan "diterima". 

Sebenarnya, setiap kampus memberikan rekomendasi topik tugas akhir yang memang menjadi ciri khas kampus tersebut. Entah karena tradisi, keterbatasan dosen ahli, letak geografis, dan faktor lainnya. Seperti di kampus saya, selain karya dan teori modern, rekomendasi yang paling sering disampaikan adalah penelitian teks sastra lokal (klasik atau modern) dalam kebudayaan Pandalungan, Madura, Using, dan Tengger, begitu pun dengan penjurusan linguistik-nya. Namun, itu hanya sebatas rekomendasi, bukan kewajiban. 

Jika memang ada upaya keras untuk memelihara sastra serius, maka akan ada usaha untuk mengubah ekosistem literasi dan selera baca. Pada dasarnya, kedua jenis sastra ini bisa berjalan beriringan tanpa saling recok, meniti jalan tengah yang terbaik. Namun, mungkin semua tahu, betapa besar tantangan usaha itu.

Hemat saya, akan terasa egois apabila selera tiap-tiap orang (yang sifatnya subjektif dan personal) dipaksakan. Toh, kapasitas dan jangkauan pengetahuan tiap orang berbeda-beda. Tak semua yang suka sastra punya kecenderungan kritis seperti A.S. Laksana dan Martin Suryajaya. Terkadang mereka hanya membaca untuk menikmati, bukan membredeli satu per satu struktur, penokohan, dan tema layaknya dalam perkuliahan sastra (kecuali kalau ia memang mahasiswa sastra). 

Sejatinya, yang diperlukan adalah kebiasaan dan membiasakan diri. Terbiasa dengan fakta bahwa yang paling banyak dikaji, bukan berarti paling tinggi kualitasnya. Membiasakan diri meluaskan pandangan dan selera, sehingga tidak terjebak pada buku-buku yang itu saja (baik sastra serius maupun sastra populer). Hal ini juga perlu dukungan dari pemerintah, untuk memfasilitasi keduanya agar selalu berdampingan satu sama lain, sehingga khazanah literasi kita semakin luas, tidak hanya terkekang dalam dikotomi kubu-kubuan. 

___
Penulis: Hilmi Baskoro dan Akmal Rahman Hanif.
Ilustrasi: Hilmi Baskoro dan Kafka

  • Share:

You Might Also Like

0 comments