Sudah hampir sebulan saya menjalani kehidupan sebagai wartawan. Keputusan yang didukung sepenuhnya oleh orang tua saya.
Saya wajib menulis minimal tiga berita dalam sehari. Sebuah pembiasaan ekstrem untuk saya yang terbiasa menulis berhari-hari. Karena jujur saja saya tidak bisa menulis cepat. Sekalipun saya menyelesaikan tulisan tak sampai tiga jam, misalkan, saya tetap mendiamkannya minimal tiga hari. Saya tidak pernah percaya tulisan saya bisa bagus dalam sekali kesempatan. Setidaknya saya harus punya kesempatan mengedit sebagian besarnya, atau lebih ekstrem, menulis ulang keseluruhan.
Sebelum saya menjadi wartawan, saya selalu mengandalkan kondisi perasaan yang baik, pemikiran yang jernih, fokus yang tidak main-main, kontemplasi yang hati-hati, serta tempat yang nyaman untuk menulis. Dan sejak menjadi wartawan, semua kondisi itu ambrol. Saya harus mampu menulis di mana dan kondisi seperti apapun.
Redaktur tidak tahu-menahu tentang kondisi perasaan saya. Jangankan menulis di laptop bertumpu meja, dalam kondisi mepet dan dikejar tenggat waktu, saya terpaksa menulis di pinggir jalan menggunakan smartphone.
Tapi yang perlu diingat, dengan begitu, bukan berarti saya tidak berkontemplasi, tidak berpikir jernih atau fokus saya terganggu. Saya hanya membiasakan diri menulis dengan khidmat di manapun dan bagaimanapun kondisi perasaan saya. Dan keadaan ini telah mengubah pandangan saya terhadap proses kepenulisan.
Saya selalu mengasosiasikan ide menulis, dan juga prosesnya sebagai sebuah ilham: perpaduan laku psikologis dan fisis untuk menciptakan ketepatan logika. Menulis telah menjadi semacam peristiwa dan pengalaman sakral bagi saya (maaf agak lebay). Maka, ketika terbesit cita-cita menjadi penulis, saya hanya bertekad untuk menekuni cerita pendek. Saya merasa kemampuan pengilhaman saya hanya dapat saya tekan untuk lima ribu kata saja. Sementara membayangkan menulis novel rasanya pengin muntah.
Begitu juga dengan artikel ilmiah. Jujur saja saya kelimpungan walau hanya menulis makalah belasan halaman. Sulit rasanya membayangkan secara utuh bentuk makalah yang akan saya tulis. Karena sesungguhnya saya tidak pandai berpanjang-panjang. Jika tulisan saya hanya sebatas 600an kata, saya bisa memikirkan kerangkanya dengan mudah apalagi sekadar mencari klimaks yang menggugah. Tapi jika mencapai ribuan kata, saya belum memiliki dedikasi yang tinggi untuk itu.
Menulis selalu menjadi saat-saat tersulit bagi saya. Saya butuh ruangan khusus untuk menulis. Saya tidak bisa kepanasan, juga tidak kedinginan. Saya tidak boleh berkeringat sekaligus tidak menggigil. Saya harus bebas dari berbagai gangguan. Saya harus dalam kondisi motivasi yang tinggi. Dan saya butuh sesuatu yang sensitif untuk bahan tulisan saya. Sesuatu yang benar-benar mengganggu pikiran saya. Sesuatu yang menggigit dan menggores tangan saya. Sesuatu yang jika tidak saya tuliskan, akan mengendap dan membikin kepala saya sakit.
Tapi dengan jurnalisme, disiplin dan ketekunan menulis setiap hari telah menghancurkan klaim bahwa menulis adalah laku pengilhaman.
Seringnya saya menulis, walau hanya kurang dari 500 kata, telah membawa saya pada definisi seni menulis yang berbeda. Saya telah sampai pada pemahaman bahwa menulis merupakan sebuah bidang kerajinan, bukan semata-mata pengilhaman. Menulis adalah kerja ketekunan. Sementara ketekunan mendekatkan saya dengan realitas. Begitu juga dengan berita telah membawa saya lebih dekat dengan realitas, yang bagi saya sebelum ini, hanya tampak seperti dari puncak gunung. Dan sekarang, saya sudah turun gunung, berinteraksi dengan realitas, dan menuliskannya untuk Anda semua.
Maka dari itu, menulis bukan sesuatu yang sakral lagi buat saya. Bukan saat-saat tersulit lagi. Menulis bukan lagi sesuatu yang jika perasaan tidak enak atau fokus yang kurang, tidak tercipta lagi. Menulis sudah menjadi sebuah kerajinan yang ‘mudah’ bagi saya, setidaknya untuk kualitas tulisan saya saat ini.
Kadang kala, saya memang merasa keberatan dengan jumlah berita yang harus saya tulis sehari. Namun, dengan banyaknya bentuk realitas yang saya dapat dari proses itu, saya merasa puas. Ini biasa terjadi ketika saya sudah menuntaskan tiga berita. Di saat-saat seperti itu, saya seperti tengah berdiri di pintu surga.
Tak perlu kiranya dengan perubahan pandangan ini, menurun juga kualitas seni menulis bagi saya. Tidak. Pendek kata, keagungan seni menulis telah bergeser. Dari ketinggian dengan standar emosi bagus, fokus stabil, dan tempat nyaman, menuju ketinggian dengan berbagai emosi, tempat, dan gangguan. Dan beberapa hal yang perlu saya kenang dari proses perubahan ini adalah disiplin dan dedikasi. Saya berharap kenikmatan ini terus menyertai saya.
Hilmi Lukman Baskoro, sedang menulis skripsi tentang orientalisme dan mengawali kariernya sebagai wartawan di Jawa Pos Radar Jember.