Puisi-Puisi Mahmoud Darwish

By 1001 Halaman - November 02, 2023



Di Tanah Ini 

Di tanah ini adakah hidup layak dijalani: 
April yang ragu, harum roti subuh hari, 
laki-laki terhimpun dalam mata perempuan, 
tulisan-tulisan Aeschylus, cinta pertama, 
rumput-rumput di atas batu, ibu-ibu yang berlagu dengan 
napas seruling, dan ketakutan penjajah pada kenangan. 

Di tanah ini adakah hidup layak dijalani: 
September hari terakhir, perempuan memeram aprikotnya 
yang ranum setelah empat puluh tahun, matahari 
sesaat di penjara, gambar awan berbentuk hewan, 
sorai orang-orang pada mereka yang mati tersenyum, 
ketakutan penguasa pada nada-nada. 

Di tanah ini adakah hidup layak dijalani:
di tanah ini, ibu bumi pertiwi,
ibu segala awal dan akhir. Dulu ia bernama Palestina.
Sampai nanti tetap akan bernama Palestina.
Ibuku, seandainya kau memang ibuku,
aku layak dilahirkan.




Kau Terlupa

terlupa, seakan-akan kau tak pernah ada
terlupa seperti kematian burung
seperti bangkai gereja, kau terlupa
seperti cinta yang berlalu
dan setangkai mawar malam... terlupa

aku adalah jalan... mereka yang telapak kakinya menapak pada telapak kakiku
mengimla suaranya pada suaraku
mereka yang menasarkan kalamnya menjadi hasrat dalam satu hikayah dan sejarah
atau membarai mereka yang datang lepas itu
bagai jejak yang liris... dan sebuah firasat

terlupa, seakan-akan kau tak pernah
menjadi seseorang, atau bahasa... terlupa

aku berjalan menjajari garis arti, aku mungkin menceritakan kisah naratif dan biografis.
kata-kata menataku dan aku menatanya.
aku menjelma bentuknya dan ia menjelma metafora bebas,
tetapi telah dikatakan apa yang ingin aku katakan.
hari esok berlalu mendahuluiku.
aku akan menggema bagai raja.
tak ada tahta kecuali tepi.
dan jalanan adalah jalan.
mungkin masa lalu hanya mengisahkan sebuah kisah yang tak ingin dikisahkannya kepadamu.
aku akan menyelip sebagai kenangan dan perasaan 

terlupa, seakan-akan kau tak pernah
menjadi berita, atau jejak... terlupa

aku adalah jalan... mereka yang langkah kakinya melangkah pada langkah kakiku
mereka yang bermimpi seperti mimpiku
mereka yang membaca elegi di taman asing,
di depan rumah, bebas, melepas diri dari kemarin,
merdeka dari kinayah dan bahasaku,
maka ketika itu aku bersaksi: fa ashadu annani hayyun
wa hurrun. fa ashadu
bahwa aku hidup
dan merdeka
ketika aku terlupa!




War and Peace

Perang akan berakhir
Para pemimpin akan berjabat tangan
Wanita tua menunggu anaknya yang syahid
Seorang perempuan menunggu suaminya tercinta
Anak-anak menunggu ayahnya, pahlawannya.

Aku tidak tahu siapa yang menjual tanah air ini,
tapi aku tahu siapa yang membayar mahal harganya.




Mereka Mencintai Hari Kematianku 

Mereka mencintai hari kematianku, untuk 
mengatakan: dia milikku, dia milikku. 
Selama dua puluh tahun aku mendengar tapak 
kaki mereka mengandap di dinding malam.
Mereka belum membuka pintu, namun di sinilah 
mereka sekarang. Aku melihat tiga dari mereka:
penyair, pembunuh, dan pembaca buku.
Maukah kau minum beberapa gelas anggur terlebih 
dulu? Aku bertanya. 
Iya, mereka menjawab.
Kapan kau berencana menembakku? Aku 
bertanya.
Tenang saja, mereka menjawab.
Mereka meletakkan gelas-gelas mereka sejajar dan 
mulai bernyanyi untuk orang-orang.
Aku bertanya: Kapan kau akan mulai 
membunuhku?
Sudah selesai, mereka menjawab… kenapa kau 
kirim terlebih dahulu sepatumu ke dalam jiwamu? 
Supaya bisa mengembara di muka bumi, kataku.
Dunia hitam pekat, jadi kenapa puisi-puisimu 
begitu nyala dan putih?
Sebab hatiku pedat penuh dengan tiga puluh 
lautan, aku menjawab.
Mereka bertanya: kenapa kau suka wine Prancis?
Sebab aku harus mencintai wanita tercantik, aku 
menjawab.
Mereka bertanya: Bagaimana cara mati yang kau 
sukai?
Biru, seperti bintang-bintang mengalir dari dalam 
jendela—apakah kau mau wine lagi?
Iya, kita akan minum, kata mereka.
Silahkan jangan terburu-buru. Aku ingin kau 
membunuhku secara perlahan, jadi aku bisa menulis puisi
terakhirku buat istriku tersayang. Mereka tertawa, 
dan tak merenggut apa-apa dariku kecuali kata-kata buat istriku.




Aku Melihat Gentayang Datang dari Jauh

Seperti teras rumah, aku melihat apa yang 
ingin aku lihat
Aku melihat teman-temanku merintang sore 
hari membawa rantang:
Wine dan roti,
Dan berberapa novel dan kaset…

Aku melihat camar, dan truk tentara 
mencemar pepohonan di tempat ini 

Aku melihat anjing tetangga, imigran dari 
Kanada, setahun setengah yang lalu…

Aku melihat nama; Abu Tayyib al-Mutanabbi, 
musafir dari Tiberias, menuju Mesir 
menunggang kuda bernada

Aku melihat rimbun mawar Persia menjalar 
memanjat pagar

Seperti teras rumah, aku melihat apa yang 
ingin aku lihat

Aku melihat pohon-pohon merindang malam 
dari dirinya, dan menimang mereka 
yang mencintaiku dalam buai 
kematian

Aku melihat angin mencari daratan
Aku melihat wanita berjemur di dalam 
dirinya  

Aku melihat kafilah nabi-nabi dari masa lalu 
datang ke Yerusalem dengan 
bertelanjang kaki
Dan aku bertanya: “Apakah ada nabi baru 
bagi abad ini?”

Seperti teras rumah, aku melihat apa yang 
ingin aku lihat

Aku melihat fotoku, melarikan diri dari 
dirinya menuju tangga berbatu, 
dengan selampai ibunya,
Dingin dalam angin: apa jadinya bila aku 
menjadi anak kecil lagi?
Aku kembali padamu… dan kau kembali 
padaku

Aku melihat batang zaitun yang 
menyembunyikan Zakaria
Aku melihat kata-kata yang punah dalam 
Lisan al-Arab’

Aku melihat orang-orang Persia, Romawi, 
Sumeria,
Dan pengungsi baru…

Aku melihat kalung wanita Tagore miskin 
tergeletak
Di bawah roda kereta pangeran tampan…

Aku melihat burung Hudhud yang lesu oleh 
ocehan Raja

Aku melihat ke balik Langit:

Apa yang akan terjadi… apa yang akan
terjadi sehabis debu?

Aku melihat jasadku ketakakutan dari jauh…

Seperti teras rumah, aku melihat apa yang 
ingin aku lihat

Aku melihat bahasaku sehabis lusa. Cukup 
sesaat singkat bagi Aeschylius untuk 
membuka pintu damai,
Cukup sejajar ujar bagi Anthony untuk 
memulai perang
Cukup
Tangan perempuan di tanganku
Dan aku memeluk kebebasanku
Dan akan aku mulai pasang-surut dalam 
tubuhku lagi
Seperti teras rumah, aku melihat apa yang 
ingin aku lihat

Aku melihat gentayang
Datang
Dari
Jauh…



Jika Kau Bukan Hujan

Jika kau bukan hujan, sayangku
Jadilah pohon
Penuh dengan kesuburan, jadilah pohon

Dan jika kau bukan pohon, sayangku
Jadilah batu
Penuh dengan kelembapan, jadilah batu

Dan jika kau bukan batu, sayangku
Jadilah bulan
Dalam tidur seseorang, jadilah bulan 

(Begitu kata wanita 
kepada jenazah anaknya)




*Puisi-puisi ini diterjemahkan oleh Khotibul Umam dari beberapa sumber:
Why Did You Leave The Horse Alone? (Hesperus Press Limited, 1995)
State of Siege (Syracuse University Press, 2002) 
Unfortunately, It Was Paradise: selected poems/Mahmoud Darwish (The Regents of the University of California, 2003)
The Butterfly’s Burden (Copper Canyon Press, 2007)

*Saya merekomendasikan membaca puisi-puisi di atas sambil mendengarkan satu album musikalisasi puisi Mahmoud Darwish yang digubah oleh Le Trio Joubran. Satu puisi di atas yang berjudul “Kau Terlupa” juga ada dalam album tersebut dengan judul “Sur cette tere – Faraadees”. Berikut linknya

  • Share:

You Might Also Like

0 comments